PENGERTIAN
NASIKH-MANSUKH
Nasikh-mansukh berasal
dari kata nasakh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai
untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan
pengubahan. Secara istilah yang berarti proses penghapusan atau pembatalan
hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang
datang kemudian.
1.
Definisi Nasakh dan Mansukh
Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa
nasakh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti,
menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai
berikut :
- Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan
adalah
رفع الحكم الشرعي بخطاب
شرعي
“Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan
khithab (dalil) syara’ yang lain”
- Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim
al-Zarqaniy :
رفع الحكم الشرعي بدليل
شرعي متأخر
“mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan
dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”
Para ulama
mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu
:
·
Pembatalan hukum yang
ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
·
Pengecualian hukum yang
bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
·
Penjelasan hukum yang
datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
·
Penetapan syarat
terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
Para ulama
muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga
ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat
diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang
mengartikan المرتفع الحكم yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara
terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan
atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
2.
Perbedaan antara Nasakh, Takhsish dan Bada’
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan
Abu Muslim al Ashfahanidalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al
Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam al quran. Al Ashfahani
berpendapat bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran
terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat
dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis,
menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad)
dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad ‘amm”.
Nasakh :
1.
Satuan yang terdapat
dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat
dalam Mansukh.
2.
Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang
tercakup dalam dalil mansukh.
3.
Nasakh hanya terjadi
dengan dalil yang dating kemudian.
4.
Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam
rentang waktu yang tidak terbatas.
5.
Setelah terjadi
nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hokum
yang tedapat dalam mansukh.
Takhshis :
1.
Satuan yang tedapat
dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz ‘aam.
2.
Takhshis adalah merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup
dalam dalil ‘aam.
3.
Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai
dan mendahuluinya.
4.
Takhshis tidak
menghapuskan hokum ‘aam sama sekali. Hokum ‘aam tetap berlaku meskipun
sudah dikhushuskan.
5.
Setelah terjadi Takhshis, sisa
satuan yang terdapat pada ‘aam tetap terikat oleh dalil áam.
Hikmah Adanya Nasakh
Adanya nasikh-mansukh
tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan
yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur’an tidak terjadi sekaligus,
tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Syekh al-Qasimi
berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi
Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam
proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan
berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat
kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga
bersifat universal. Demikianlah Sunnah
al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama.
3.
Syarat, Macam Nasakh dan Mansukh
Dari kedua definisi
diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila
memenuhi kriteria berikut :
·
Pembatalan itu harus
dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan
Rasul-Nya yang disebut nasakh.
·
Yang dibatalkan adalah
syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
·
Nasakh harus datang
kemudian (terakhir) dari mansukh.
A.
Syarat-syarat nasakh
dan mansukh
1.
Yang dimansukhkan
adalah hukum syara’
2.
Dalil yang menghapus
hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist,
Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat
59.
3.
Adanya tenggang waktu
antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang
berurut (gandeng ayat).
Contoh :
ثم اتموالصيام bukan
merupakan mansukh dari kalimat إلى الليل (yang dianggap nasikh).
Kalau ditemukan ada
kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah
apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut
bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4.
Antara dua dalil
nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut
tidak bisa dikompromikan.
B.
Macam-macam nasakh dan
mansukh
1.
Nasakh Badal (nasakh
yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :
ü
Nasakh dengan badal
akhof (pengganti yang lebih ringan)
ü
Nasakh mumatsil
(pengganti serupa)
ü
Badal atsqal
(pengganti yang lebih berat)
2.
Nasakh Ghairu Badal
(nasakh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi
sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3.
Nasakh hukum dan
tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak
ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
4.
Nasakh hukum tanpa
tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5.
Nasukh tilawah tanpa
hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.
6.
Nasakh hukum dan
bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan
batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan
teks tersebut telah dihapus.
7.
Terjadinya penambahan
hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan
tersebut bersifat nasakh.
8.
Pengurangan terhadap
hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan
nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.
4.
Bentuk dan jenis nasikh dalam al-Quran
Berdasarkan kejelasan
dan cakupannya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam:
·
Nasikh Sharih
Ayat yang secara jelas menghapus hokum yang terdapat pada ayat
yantg terdahulu. Seperti pada ayat qital (perang) pada surat Al-Anfal ayat 65
yang mengharuskan satu orang muslim berperang melawan sepuluh orang kafir
dihapus oleh surat Al-anfal ayat 66 yang mengharuskan satu orng mukmin melawan
dua orang kafir.
·
Nasikh Dzimmy
Yaitu jika terdapat dua nasikh yang bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama, dan diketahui waktu
turunnya maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Seperti
ketetapan berwasiat bagi orang yang akan mati pada surat Al-Baqarah ayat 180
dihapus oleh hadist la washiyyata li warist (tidak ada wasiat bagi hali waris).
Hadis ini berstatus hadis shahih.
·
Nasikh Kully
Yaitu penghapusan hokum secara keseluruhan. Seperti ketentuan
iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 dihapus oleh
ketentuan iddah satu tahun pada surat al Baqarah ayat 240.
·
Nasikh juz’i
Penghapusan hokum bagi semua individu dengan hokum yang berlaku
untuk individu khusus. Seperti hokum dera 80 kali bagi orang yang menuduh
seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat Annur ayat 4 diganti dengan
ketentuan li’an (bersumpah empat kali dengan nama Allah) pada surat Annur ayat
6.
Dilihat dari segi
bacaan dan hukumnya, nasikh dibagi menjadi:
Penghapusan hokum dan
bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang termasuk kategori ini tidak berhak
dibaca dan diamalka. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
dari Ai’syah yang mengatakan :” dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-quran)
adalah sepuluh radhaat (isapan susuan) yang diketahui, kemudian dinasakh dengan
lima radhaat. Kemudian Rasulullah wafat.
Penghapusan terhadap
hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Seperti al-Kafirun ayat 6 yang
menerangkan ajakan para penyembah berhala dari orang musyrikin untuk saling
bergantian beribadah denagn orang muslim, dihapus denagn ketentuan ayat qital
(perang). Tapi bacaanya masih dibaca.
Penghapusan terhadap
bacaannya saja tapi hukumnya masih berlaku. Seperti ayat “idza zana syaikhu wa
syaikhatu far jumuha………”
5.
Menurut jenisnya nasakh dan mansukh dibagi menjadi :
1.
Nasakh al-Qur’an
dengan al-Qur’an, nasakh ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh
ini banyak sekali seperti surat al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat
al-Mujadilah ayat 13.
2.
Nasakh al-Qur’an
dengan sunnah, ada dua macam :
· Nasakh al-Qur’an dengan hadits ahad, jumhur tidak membolehkan
hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
· Nasakh al-Qur’an dengan hadits mutawattir, hal ini dibolehkan
oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah mutawattir sama-sama wahyu.
3.
Nasakh sunnah dengan
al-Qura’an
Nasakh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama’
contohnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah
yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah r.a.
4. Nasakh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi
4 :
· Nasakh mutawattir dengan mutawattir
· Nasakh ahad dengan ahad
· Nasakh ahad dengan mutawattir
· Nasakh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama
dibolehkan, adapun yang ke empat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak
membolehkan hal ini.
6.
Perbedaan dan persamaan nasakh dengan takhsis
Ø
Persamaan : terletak
pada fungsinya yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum
Ø
Perbedaan :
· Takhsis membatasi jumlah afradul amm sedangkan nasakh
membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
· Takhsis hanya masuk pada dalil amm, nasakh bisa masuk pada dalil
amm dan dalil khash
· Takhsis hanya masuk pada hukum saja, nasakh dapat masuk pada
hukum dan membatalkan berita dusta.
7.
Rukun nasakh
·
Adat an-Nasakh, yaitu
pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
·
Nasakh adalah dalil
yang kemudian menghapus hukum yang telah ada.
·
Mansukh yaitu hukum
yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
·
Mansukh anhu, yaitu
orang yang dibebani hukum.
8.
Dasar-dasar penetapan Nasikh dan
mansukh
Manna’
Al-Qaththan dalam kitab Mabahist Fi Ulumil Quran menetapkan tiga dasar untuk
menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan naskh (menghapus), dan ayat lain
dikatakan mansukh (dihapus), ketiga dasar tersebut diatas adalah:
·
An
naql as shorih (pentransmisian yang jelas) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti sabda Nabi tentang ziarah; “kuntu nahaitukum an ziaratil qubri fa
zuruha” (dulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah).
·
Melalui
kesepakan umat bahwa ayat ini nasakh dan ayat ini mansukh.
·
Melalui
study sejarah, ayat mana ynag datang dulu dan mana yang datang belakangan.
Dengan mengetahui tiga dasar
penetapan nasakh mansukh diatas, akan menjadi rambu oleh para ulama’ dalam
mengkaji tentang adanya ayat nasakh dalam alquran.
Perbedaan
pendapat tentang adanya ayat-ayat mansukh dalam al-quran
Sebagai mana yang telah diketahui
bahwa nasikh mansukh adalah salah satu kajian penting yang terdapat dalam
ilmu-ilmu alquran seperti kajian ilmu lain seperti ilmu munasabah, ilmu qiraat,
dan lain-lain. denagn mengetahui hal tersebut diatas, terdapat perbedaab
dikalangan ulama’ tentang eksistensi nasikh dalam al-Quran. Mayoritas ulama
seperti imam Syafi’i, annahsh, Assuyuti, dan lain-lain mengekui keberadaan
nasikh dalam alquran. Mereka mendasarkan pada firman-firman Allah SWT seperti;
ü
Al Baqarah ayat 106
ü
Ar Ra’du ayat 39
ü
An Nahl ayat 101
Dengan berpijak pada keseluruhan
ayat diatas, jumhur ulama memandang bahwa revisi al Quran telah terjadi. Dasar
lain yang mendasari ulama tentang teori nasakh adalah penerapan
perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin didalam al-Quran ada yang
bersifat sementara, dan bahwa tatkala keadaan telah berubah, perintah tersebut
dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya, namun karena perintah itu
kalamullah, maka ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Quran.
Disamping itu terdapat beberapa
ulama yang menyangkal adanya nasakh dalam alquran, seperti Abu Muslim Al Isfahani,
Imam Ar Razi, Muhammad Abduh, dan lain-lain. mereka berpegangn atas firman Alah
dalam surat Al Fushilat ayat 42. tapi oleh mayoritas ulama, pendapat Al
Isfahani ditolak mentah-mentah, hal ini karena yang dimaksud karena kata
“bathil” dalam surat Al Fushilat ayat 42 bermakna kebathilan yang berarti lawan
dari kebenaran. Hal ini berbeda dengan Al Isfahani ynag menafsirkan “bathil”
denagn pembatalan.