Jumat, 08 Februari 2013

nasakh- mansukh


PENGERTIAN NASIKH-MANSUKH
Nasikh-mansukh berasal dari kata nasakh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk  beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Secara istilah yang berarti proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’i yang telah ada untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’i yang datang kemudian.
1.                  Definisi Nasakh dan Mansukh
Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa nasakh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, menukar. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut :
-          Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan adalah
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
 “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain”
-          Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim al-Zarqaniy :
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
 “mengangkat / menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”
Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu :
·         Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
·         Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
·         Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
·         Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
Para ulama muta’akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang  kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahuku sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفع الحكم yaitu “hukum yang diangkat”. Sedangkan secara terminology adalah hukum syara’ yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
2.                  Perbedaan antara Nasakh, Takhsish dan Bada’
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahanidalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam al quran. Al Ashfahani berpendapat bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai “mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad ‘amm”.
Nasakh :
1.      Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
2.      Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3.      Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
4.      Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5.      Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hokum yang tedapat dalam mansukh.



Takhshis :
1.      Satuan yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz ‘aam.
2.      Takhshis adalah merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘aam.
3.      Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4.      Takhshis tidak menghapuskan hokum ‘aam sama sekali. Hokum ‘aam tetap berlaku meskipun sudah dikhushuskan.
5.      Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada ‘aam tetap terikat oleh dalil áam.

Hikmah Adanya Nasakh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih.  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.
3.                  Syarat, Macam Nasakh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut :
·         Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
·         Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus)
·         Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.

A.        Syarat-syarat nasakh dan mansukh

1.      Yang dimansukhkan adalah hukum syara’
2.      Dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
3.      Adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh :
ثم اتموالصيام bukan merupakan mansukh dari kalimat إلى الليل (yang dianggap nasikh).
Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4.      Antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.

B.        Macam-macam nasakh dan mansukh

1.   Nasakh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga :

ü  Nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
ü  Nasakh mumatsil (pengganti serupa)
ü  Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)

2.   Nasakh Ghairu Badal (nasakh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3.   Nasakh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada dijumpai lagi dalam al-Qur’an.
4.   Nasakh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5.   Nasukh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya.
6.   Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (H.R. Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7.   Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama’ Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
8.   Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari’atkan menurut kesepakatan ulama’ dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.




4.                  Bentuk dan jenis nasikh dalam al-Quran
Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam:
·         Nasikh Sharih
Ayat yang secara jelas menghapus hokum yang terdapat pada ayat yantg terdahulu. Seperti pada ayat qital (perang) pada surat Al-Anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim berperang melawan sepuluh orang kafir dihapus oleh surat Al-anfal ayat 66 yang mengharuskan satu orng mukmin melawan dua orang kafir.
·         Nasikh Dzimmy
Yaitu jika terdapat dua nasikh yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk masalah yang sama, dan diketahui waktu turunnya maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Seperti ketetapan berwasiat bagi orang yang akan mati pada surat Al-Baqarah ayat 180 dihapus oleh hadist la washiyyata li warist (tidak ada wasiat bagi hali waris). Hadis ini berstatus hadis shahih.
·         Nasikh Kully
Yaitu penghapusan hokum secara keseluruhan. Seperti ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 dihapus oleh ketentuan iddah satu tahun pada surat al Baqarah ayat 240.
·         Nasikh juz’i
Penghapusan hokum bagi semua individu dengan hokum yang berlaku untuk individu khusus. Seperti hokum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat Annur ayat 4 diganti dengan ketentuan li’an (bersumpah empat kali dengan nama Allah) pada surat Annur ayat 6.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, nasikh dibagi menjadi:
Penghapusan hokum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang termasuk kategori ini tidak berhak dibaca dan diamalka. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ai’syah yang mengatakan :” dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-quran) adalah sepuluh radhaat (isapan susuan) yang diketahui, kemudian dinasakh dengan lima radhaat. Kemudian Rasulullah wafat.
Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Seperti al-Kafirun ayat 6 yang menerangkan ajakan para penyembah berhala dari orang musyrikin untuk saling bergantian beribadah denagn orang muslim, dihapus denagn ketentuan ayat qital (perang). Tapi bacaanya masih dibaca.
Penghapusan terhadap bacaannya saja tapi hukumnya masih berlaku. Seperti ayat “idza zana syaikhu wa syaikhatu far jumuha………”
5.                  Menurut jenisnya nasakh dan mansukh dibagi menjadi :

1.      Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, nasakh ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti surat al-Mujadilah ayat : 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2.      Nasakh al-Qur’an dengan sunnah, ada dua macam :
·      Nasakh al-Qur’an dengan hadits ahad, jumhur tidak membolehkan hal ini karena al-Qur’an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
·      Nasakh al-Qur’an dengan hadits mutawattir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur’an dan sunnah mutawattir sama-sama wahyu.
3.      Nasakh sunnah dengan al-Qura’an
Nasakh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama’ contohnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah r.a.
4.  Nasakh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi 4 :
·      Nasakh mutawattir dengan mutawattir
·      Nasakh ahad dengan ahad
·      Nasakh ahad dengan mutawattir
·      Nasakh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke empat terdapat khilaf, tetapi jumhur tidak membolehkan hal ini.
6.                  Perbedaan dan persamaan nasakh dengan takhsis

Ø  Persamaan : terletak pada fungsinya yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum
Ø  Perbedaan  :
·      Takhsis membatasi jumlah afradul amm sedangkan nasakh membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru.
·      Takhsis hanya masuk pada dalil amm, nasakh bisa masuk pada dalil amm dan dalil khash
·      Takhsis hanya masuk pada hukum saja, nasakh dapat masuk pada hukum dan membatalkan berita dusta.

7.                  Rukun nasakh

·         Adat an-Nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
·         Nasakh adalah dalil yang kemudian menghapus hukum yang telah ada.
·         Mansukh yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
·         Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

8.                  Dasar-dasar penetapan Nasikh dan mansukh
Manna’ Al-Qaththan dalam kitab Mabahist Fi Ulumil Quran menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan naskh (menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus), ketiga dasar tersebut diatas adalah:
·         An naql as shorih (pentransmisian yang jelas) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti sabda Nabi tentang ziarah; “kuntu nahaitukum an ziaratil qubri fa zuruha” (dulu saya melarang kamu untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah).
·         Melalui kesepakan umat bahwa ayat ini nasakh dan ayat ini mansukh.
·         Melalui study sejarah, ayat mana ynag datang dulu dan mana yang datang belakangan.
Dengan mengetahui tiga dasar penetapan nasakh mansukh diatas, akan menjadi rambu oleh para ulama’ dalam mengkaji tentang adanya ayat nasakh dalam alquran.
Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat mansukh dalam al-quran
Sebagai mana yang telah diketahui bahwa nasikh mansukh adalah salah satu kajian penting yang terdapat dalam ilmu-ilmu alquran seperti kajian ilmu lain seperti ilmu munasabah, ilmu qiraat, dan lain-lain. denagn mengetahui hal tersebut diatas, terdapat perbedaab dikalangan ulama’ tentang eksistensi nasikh dalam al-Quran. Mayoritas ulama seperti imam Syafi’i, annahsh, Assuyuti, dan lain-lain mengekui keberadaan nasikh dalam alquran. Mereka mendasarkan pada firman-firman Allah SWT seperti;
ü Al Baqarah ayat 106
ü Ar Ra’du ayat 39
ü An Nahl ayat 101
Dengan berpijak pada keseluruhan ayat diatas, jumhur ulama memandang bahwa revisi al Quran telah terjadi. Dasar lain yang mendasari ulama tentang teori nasakh adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin didalam al-Quran ada yang bersifat sementara, dan bahwa tatkala keadaan telah berubah, perintah tersebut dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya, namun karena perintah itu kalamullah, maka ia harus dibaca sebagai bagian dari Al-Quran.
Disamping itu terdapat beberapa ulama yang menyangkal adanya nasakh dalam alquran, seperti Abu Muslim Al Isfahani, Imam Ar Razi, Muhammad Abduh, dan lain-lain. mereka berpegangn atas firman Alah dalam surat Al Fushilat ayat 42. tapi oleh mayoritas ulama, pendapat Al Isfahani ditolak mentah-mentah, hal ini karena yang dimaksud karena kata “bathil” dalam surat Al Fushilat ayat 42 bermakna kebathilan yang berarti lawan dari kebenaran. Hal ini berbeda dengan Al Isfahani ynag menafsirkan “bathil” denagn pembatalan.